Saatnya Sekolah Tidak Lagi Ragu terhadap Pendidikan Alam
SATYABERITA – Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Medan dan Aceh dalam beberapa waktu terakhir kembali mengingatkan publik bahwa krisis lingkungan bukan lagi ancaman abstrak, melainkan realitas sehari-hari. Peristiwa itu tidak dapat dilepaskan dari akumulasi persoalan lingkungan yang berlangsung dalam jangka panjang, seperti rusaknya tutupan lahan, rendahnya kesadaran ekologis, serta minimnya kesiapsiagaan masyarakat. Kondisi inilah yang memperbesar dampak bencana dan menegaskan bahwa persoalan lingkungan bukan semata soal alam, melainkan juga soal karakter manusia. Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang menumbuhkan kepedulian terhadap alam menjadi semakin relevan dan mendesak untuk diperkuat sejak di bangku sekolah.
Ironisnya, di tengah meningkatnya ancaman ekologis, sekolah justru kehilangan salah satu ruang pendidikan karakter yang paling dekat dengan isu lingkungan, yakni kegiatan Siswa Pecinta Alam (Sispala). Sejak dibekukan pada 2015, yang hilang bukan sekadar sebuah ekstrakurikuler, tetapi juga ruang pembelajaran yang mengajarkan hubungan langsung antara manusia, alam, dan tanggung jawab sosial. Generasi pelajar kehilangan kesempatan untuk memahami alam bukan hanya sebagai latar belakang wisata, tetapi sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga.
Pendidikan sejatinya tidak hanya berbicara tentang capaian akademik dan angka rapor. Ia juga mencakup pembentukan sikap, nilai, dan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar. Ketika pendidikan karakter dilepaskan dari pengalaman nyata di alam, kesadaran ekologis siswa berisiko tumbuh secara dangkal sekadar slogan tanpa pemahaman mendalam.
Kegiatan pencinta alam tidak hanya berkaitan dengan pendakian gunung atau perkemahan. Ia merupakan wadah pembelajaran karakter berbasis pengalaman langsung. Di lapangan, siswa belajar membaca risiko, mengambil keputusan, bekerja sama dalam keterbatasan, serta membangun empati terhadap sesama dan lingkungan. Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi penting dalam membentuk generasi yang tangguh menghadapi krisis, termasuk bencana alam.
Soe Hok Gie pernah mengingatkan bahwa “gerakan pecinta alam adalah bentuk perlawanan terhadap kesadaran palsu yang dibangun tanpa pengalaman nyata.” Pernyataan ini relevan di tengah maraknya bencana ekologis hari ini. Tanpa pengalaman langsung berinteraksi dengan alam, kepedulian lingkungan mudah berhenti pada wacana.

Pencinta Alam dan Pembentukan Karakter Peduli Lingkungan
Kegiatan pencinta alam sejak lama dikenal sebagai ruang pembelajaran efektif dalam pembinaan karakter siswa. Melalui jelajah alam, latihan penanggulangan bencana, dan kegiatan konservasi, siswa belajar bahwa alam bukan objek eksploitasi, melainkan sistem yang rentan dan saling terhubung. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa kerusakan lingkungan memiliki konsekuensi nyata bagi kehidupan manusia.
Dalam konteks bencana seperti banjir bandang di Medan dan Aceh, pendidikan karakter berbasis alam menjadi relevan karena membentuk sikap preventif, bukan sekadar reaktif. Siswa tidak hanya diajarkan cara menolong saat bencana terjadi, tetapi juga memahami sebab-sebab ekologis di baliknya. Inilah esensi pendidikan lingkungan yang berkelanjutan.
Pendekatan ini sejalan dengan konsep experiential learning, di mana nilai dan sikap terbentuk melalui pengalaman langsung. Dengan tata kelola yang baik dan pendampingan yang tepat, kegiatan pencinta alam dapat menjadi wahana strategis untuk menanamkan karakter peduli lingkungan sejak dini.
Masalah Bukan pada Kegiatannya, Melainkan pada Cara Kita Memaknainya
Dalam kerangka Teori Agenda Setting, media dan institusi memiliki peran besar dalam menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Selama ini, kegiatan pencinta alam lebih sering ditempatkan dalam agenda risiko dan keselamatan semata, sementara perannya dalam membangun kesadaran lingkungan dan kesiapsiagaan bencana jarang mendapat sorotan. Akibatnya, kebijakan yang lahir cenderung bersifat pembatasan, bukan penguatan kapasitas pendidikan.
Pasca berbagai insiden dan terbitnya regulasi yang memperketat kegiatan luar ruang, banyak sekolah memilih menghentikan Sispala. Namun, penting dipahami bahwa risiko tersebut tidak berakar pada aktivitas alamnya, melainkan pada lemahnya tata kelola dan pengawasan kegiatan di masa lalu.
Minimnya SOP keselamatan, lemahnya pengawasan pendamping, budaya senioritas yang tidak terkendali, serta rendahnya pemahaman manajemen risiko menjadi faktor utama. Persoalan-persoalan ini seharusnya dijawab melalui pembenahan sistem, bukan penghapusan ruang belajar.
Keras, Peduli, dan Bertanggung Jawab
Kegiatan pencinta alam memang menuntut disiplin dan ketangguhan. Namun ketegasan tidak boleh berubah menjadi kekerasan. Pendidikan karakter berbasis alam justru menekankan empati, kepemimpinan pelayanan, dan tanggung jawab kolektif. Alam menjadi guru utama, bukan relasi kuasa antar siswa.
Menghidupkan Kembali Ruang Pendidikan yang Relevan
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana ekologis, sekolah membutuhkan ruang pendidikan yang mampu membentuk generasi sadar lingkungan, tangguh, dan peduli. Menghidupkan kembali Sispala bukan sekadar membuka ekstrakurikuler, tetapi mengembalikan ruang belajar yang relevan dengan tantangan zaman.
Dengan tata kelola yang baik, pengawasan ketat, dan budaya anti-kekerasan yang tegas, kegiatan pencinta alam dapat menjadi salah satu garda terdepan pendidikan karakter dan kesadaran ekologis. Bukan hanya untuk mencegah risiko, tetapi untuk menyiapkan generasi yang mampu merawat alam—sebelum alam kembali menunjukkan kemarahannya.
Salam Rimba.
Salam Lestari.
Tommy Andriansyah
Mahasiswa Pasca sarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Paramadina

Post Comment