Solidaritas Rakyat dan Krisis Legitimasi Negara
SATYABERITA – Bantuan sering datang lebih dulu dari rakyat. Negara menyusul belakangan, kerap hanya untuk mencatat, mengatur, dan mengingatkan.
Awal Desember, donasi publik untuk korban bencana di Sumatera terkumpul hingga miliaran rupiah dalam hitungan hari. Di Yogyakarta, sejumlah warung makan membuka dapur gratis bagi mahasiswa perantau dari wilayah terdampak. Tidak ada seremoni. Tidak ada surat keputusan. Bantuan bergerak karena orang-orang merasa tidak bisa menunggu lebih lama.
Penulis Amerika Latin, Eduardo Galeano, menulis, “Charity is vertical, solidarity is horizontal.” Amal bergerak dari atas ke bawah, dengan jarak dan hierarki. Solidaritas tumbuh sejajar, dari orang ke orang, dari sesama warga yang saling mengenali penderitaan dan memilih bertindak.
Dalam krisis, perbedaan itu menjadi telanjang. Solidaritas rakyat bekerja cepat karena berangkat dari kebutuhan konkret dan relasi setara. Negara, sebaliknya, bekerja melalui hirarki, prosedur, dan pembagian kewenangan. Ketika dua logika ini berhadapan, yang tampak bukan sekadar soal kecepatan, melainkan orientasi. Bantuan warga tiba karena harus tiba. Negara tertahan karena harus diputuskan.
Situasi ini bukan kebetulan, dan bukan pula peristiwa sesaat. Solidaritas rakyat telah lama menjadi mekanisme bertahan ketika negara absen atau justru berhadap-hadapan dengan warganya. Hal itu terlihat dalam perjuangan petani di kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Selama bertahun-tahun menolak pembangunan pabrik semen, para petani membangun jaringan solidaritas pangan dan logistik antar desa. Beras, sayur, dan kebutuhan hidup mengalir tanpa bantuan negara. Solidaritas itu bukan hanya menopang kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjaga keberlanjutan perlawanan terhadap kebijakan yang mengancam ruang hidup mereka.
Di titik ini, solidaritas berhenti menjadi sekadar aksi kemanusiaan. Ia berubah menjadi praktik politik. Ia membangun kepercayaan, memperluas jejaring, dan menumbuhkan kesadaran bahwa masyarakat mampu mengorganisir diri tanpa menunggu negara. Dari sini lahir klaim diam-diam atas legitimasi: siapa yang hadir, siapa yang bekerja, dan siapa yang sekadar mengatur.
Pola yang sama kembali terlihat hari ini. Negara yang terlambat hadir di awal krisis mendadak sibuk ketika solidaritas warga membesar. Inisiatif warga dibaca sebagai gangguan yang perlu diawasi, ditertibkan, bahkan dipajaki. Bukan karena melanggar hukum, melainkan karena mengusik tatanan kekuasaan. Solidaritas memperlihatkan bahwa kapasitas bertindak tidak selalu bergantung pada negara.
Paradoksnya jelas. Negara gagal mengisi kekosongan, tetapi merasa berhak mengatur mereka yang menutupnya. Solidaritas rakyat dianggap mengganggu bukan karena keliru, melainkan karena ia membuka kenyataan yang tidak nyaman: negara tidak selalu menjadi pusat solusi. Ketika empati bekerja lebih efektif daripada otoritas, kekuasaan menjadi defensif.
Yang ditakuti bukanlah bantuan itu sendiri, melainkan dampak lanjutannya. Solidaritas melahirkan keberanian. Keberanian melahirkan kesadaran kolektif. Dari sana muncul pertanyaan yang jarang diucapkan, tetapi semakin sering dirasakan: jika rakyat mampu saling mengurus di saat krisis, lalu apa fungsi kekuasaan yang absen?
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan arah pertanyaan itu. Ketika solidaritas menguat, legitimasi mulai diuji. Rakyat membandingkan tindakan nyata dengan pidato resmi. Mereka menilai kehadiran, bukan kewenangan. Penilaian ini bukan emosi sesaat, melainkan proses politik yang sunyi dan perlahan.
Legitimasi, pada akhirnya, tidak lahir dari jabatan atau regulasi. Ia tumbuh dari keberpihakan dan kehadiran di saat paling genting. Ketika negara gagal menunjukkan itu, solidaritas rakyat menjelma cermin yang memantulkan kekosongan kekuasaan.
Dan seperti semua cermin, ia tidak berbahaya karena menyerang. Ia menakutkan karena memperlihatkan keadaan apa adanya. Itulah sebabnya solidaritas rakyat kerap disambut dengan kegelisahan. Bahkan dengan ketakutan. (AR)


Post Comment