Menimbang Partisipasi Publik Jakarta Melalui Kacamata Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas

Breaking

Menimbang Partisipasi Publik Jakarta Melalui Kacamata Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas

Oleh : Adjie Putra Wijaya
Aktifis HMI Universitas Paramadina

SATYABERITA – Beberapa tahun terakhir, ruang partisipasi publik di Jakarta tampak semakin sering dihadirkan dalam proses kebijakan. Pemerintah menggelar konsultasi publik, forum dengar pendapat, dan diskusi terbuka yang dikemas sebagai langkah untuk melibatkan warga dalam pengambilan keputusan. Di permukaan, ini memberi kesan bahwa proses kebijakan di Jakarta mulai bergerak ke arah yang lebih demokratis. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada jarak antara apa yang disebut sebagai “partisipasi publik” dan bagaimana partisipasi itu sesungguhnya bekerja.

Di titik inilah gagasan demokrasi deliberatif dari Jürgen Habermas menjadi menarik untuk dipakai membaca situasi. Habermas menawarkan kerangka bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur formal, ia harus ditopang oleh proses komunikasi yang rasional, terbuka, dan bebas dari dominasi. Idealnya, suatu kebijakan lahir dari pertukaran argumen yang seimbang, bukan dari satu pihak yang memegang kontrol atas arah dan hasil pembicaraan.

Jika standar itu dijadikan patokan, maka partisipasi publik di Jakarta masih jauh dari memadai.

Ruang Diskusi Ada, tetapi Tidak Sungguh Deliberatif
Forum-forum konsultasi publik yang digelar pemerintah DKI sering kali berhenti pada pola komunikasi satu arah: pemerintah mempresentasikan rancangan kebijakan, warga diberi kesempatan menyampaikan pertanyaan atau keberatan, lalu acara ditutup tanpa ada mekanisme untuk mengolah argumen yang muncul. Dalam format semacam ini, partisipasi lebih menyerupai formalitas untuk memenuhi syarat transparansi ketimbang proses deliberatif.

Deliberasi, dalam pengertian Habermas, tidak sekadar memberi ruang bagi warga untuk berbicara. Diskusi harus berlangsung dalam situasi yang memungkinkan setiap argumen diuji tanpa tekanan, dengan akses informasi yang setara, dan tanpa struktur hierarkis yang membuat sebagian peserta terbungkam. Ketika moderator adalah pejabat dinas terkait dan agenda diskusi sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah, suasana deliberatif sulit tercipta. Yang terjadi lebih mirip pengumuman kebijakan dengan sedikit ruang klarifikasi.

Asimetri Informasi: Hambatan Paling Dasar
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah akses terhadap informasi. Sering kali dokumen perencanaan kebijakan, baik rencana zonasi, kajian lingkungan, atau analisis dampak transportasi, baru tersedia menjelang forum konsultasi. Warga yang datang sebagian besar tidak berada dalam posisi untuk menganalisis dokumen teknis yang memerlukan waktu dan latar belakang tertentu untuk dipahami. Dalam kondisi seperti ini, warga memang hadir, tetapi tidak berada dalam posisi yang setara untuk berargumen.

Menurut Habermas, deliberasi tidak akan pernah berfungsi jika ada ketimpangan informasi yang terlalu besar. Rasionalitas diskursif hanya bekerja ketika argumen dapat saling diuji secara kritis, sebuah kondisi yang sulit dipenuhi ketika peserta tidak mengakses data yang sama.

Dominasi Birokrasi dalam Ruang Diskusi
Hambatan yang lebih struktural muncul dari budaya birokrasi itu sendiri. Dalam banyak forum, otoritas pemerintah secara halus menentukan batas-batas diskusi: apa yang boleh dibahas, sejauh mana kritik dapat ditoleransi, dan kapan diskusi harus diakhiri. Di titik ini, forum publik tidak hanya terdistorsi oleh ketimpangan informasi, tetapi juga oleh distribusi kekuasaan yang tidak merata. Komunikasi yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai pemahaman bersama berubah menjadi mekanisme legitimasi kebijakan yang sebenarnya sudah ditentukan sebelumnya. (AR)

Post Comment