TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Tunda Gelar Pahlawan Gus Dur dan Soeharto

         Foto: Jenderal Suharto dan Gusdur

Oleh: Sumiarto

SATYABERITA - Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan bangsa. Dari sekian banyak pahlawan nasional yang resmi ditetapkan pemerintah, ada ribuan dan bahkan jutaan pahlawan yang tak dikenal yang sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk negeri tercinta ini. Mereka hidup dalam ingatan dan doa setiap warga negara, sebagai kusuma bangsa, tanpa tersebut namanya.

Pemberian gelar pahlawan nasional pada tokoh-tokoh politik dewasa ini memang cenderung bermuatan politik kepentingan. Apalagi pada saat bangsa ini masih banyak persoalan sosial ekonomi, politik, hukum dan demokrasi. Akan ada bias subyektifisme jika penganugerahan gelar pahlawan nasional terburu-buru pada tokoh-tokoh politik. Apalagi tokoh-tokoh tersebut mempunyai irisan jaman yang sama tapi peran dan posisinya yang berlawanan, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Soeharto. Dari fakta sejarah dapat dibilang bahwa Gus Dur adalah antitesa dari Soeharto, baik pemikirannya maupun tindakan politiknya.

Gus Dur adalah tokoh reformasi yang menjadi antitesa dari Orde Baru pimpinan Soeharto yang otoriter. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia di Indonesia.

Sebagai Ketua Umum PB-NU dan Presiden RI ke 4, Gus Dur memainkan peran kunci dalam proses demokratisasi negara ini. Ia berani menentang kebijakan Orde Baru yang otoriter dan memperjuangkan kebebasan berpendapat, keadilan sosial, dan toleransi antarumat beragama.

Gus Dur juga dikenal karena mampu menjembatani berbagai perbedaan dan membawa pesan perdamaian kepada semua orang. Memperjuangkan hak-hak minoritas dan kelompok non-Muslim, serta mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya.

Gus Dur memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia di Indonesia. Ia adalah salah satu tokoh yang paling gigih memperjuangkan reformasi dan demokratisasi di Indonesia, dan kontribusinya tersebut telah diakui secara luas oleh masyarakat dan komunitas internasional.

Sedangkan Soeharto memiliki catatan sejarah yang kontroversial, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya. Sepak terjang dan perilaku Orde Baru sudah terkenal dunia, bahkan negara penyokong naiknya Soeharto ke tahta presiden pun memgakuinya.

Tentu saja kita tak menampik sepak terjang Soeharto sebelum orde baru. Seperti yang pernah dikatakan oleh Fadli Zon bahwa Soeharto lebih pantas menjadi pahlawan nasional karena perannya dalam revolusi fisik tahun 1945-1949. Peran sejarah yang masih bisa dipelajari dan diperdebatkan secara objektif. Namun jasa Soeharto sudah kadung tercela selama masa 32 tahun lebih kekuasaan orde baru. Bahkan banyak kajian bahwa kebijakannya yang baik seringkali menjadi bungkus otoritarianisme.

Bukankah gelar pahlawan nasional diberikan kepada seorang Warga Negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara yang semasa hidupnya tanpa cela?

Pengakuan Soeharto sebagai pahlawan nasional dapat dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan penghinaan terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan banyak tokoh lainnya di Indonesia.

Buruk gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru akanenjadi duri dalam daging bagi generasi bangsa karena secara sepihak akan dipaksa menafikkan fakta buruk sejarah orde baru. Bangsa Indonesia kedepan akan terbelenggu dalam beban sejarah buruk Orde baru. Gelar Pahlawan pada Soeharto hanya akan memaksa generasi bangsa menelan pil pahit tanpa bisa menolak cara-cara otoriterisme. Akibatnya generasi bangsa akan membenarkan perilaku buruk orde baru dalam berbangsa dan bernegara kedepan. Karena mereka hanya akan bisa menyawab "nggih" atas pertanyaan "piye, penak jamanku to?"

Alasan demi kerukunan, kebersamaan dan memberi pelajaran bagi generasi bangsa ke depan agar tak mewariskan dendam sejarah memang sangat bagus. Tapi apakah perilaku elit politik dan para pendukung orde baru sudah melakukan hal yang sama? Apakah para korban kebijakan negara, terutama orde baru sudah diperlakukan dengan selayaknya? Apakah Soeharto, keluarga dan para pendukungnya pernah minta maaf pada korban, termasuk Gus Dur?

Jangan sampai ada pandangan bahwa pengakuan Gus Dur sebagai pahlawan nasional bersamaan dengan Soeharto adalah upaya untuk membersihkan jejak sejarah yang masih kontroversial Soeharto dengan Orde Barunya.

Saya lebih suka dengan Jimly Asshiddiqie pada 2019, yang menyebut baik Gus Dur maupun Soeharto dinilai belum bisa diajukan karena belum terlalu lama meninggal. Dapat diartikan bahwa masih perlu proses musyawarah publik atas kedua tokoh tersebut.

Lebih baik memberi kesempatan publik dan terutama generasi bangsa terus mempelajari dan mengambil hikmah sejarah. Biarlah generasi bangsa yang akan menilai dan menentukan siapa yang layak jadi pahlawan, Gus Dur atau pihak yang pernah "diperbaikinya", Soeharto.

Berikan waktu bagi generasi bangsa untuk mempelajari sejarah bangsa dengan obyektif. Negara harus memberikan kebebasan mempelajari sejarah, kebebasan menyampaikan pendapat yang berbeda atas fakta-fakta sejarah, tidak ada pemberangusan buku sejarah yang dianggap tidak sesuai, dan seterusnya.

Jadi, partisipasi publik dan transparansi dalam proses pengusulan sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah tepat, adil dan bijaksana.

Tapi, jika memilih, maka Gus Dur yang layak diberi gelar pahlawan lebih dulu. Meski saya yakin, Gus Dur juga tak akan merengek-rengek minta gelar kehormatan apalagi pahlawan. Bagi Gus Dur, untuk apa kehormatan kalau hanya untuk menutupi keburukan.

Mari belajar sejarah dengan merdeka, adil dan objektif tanpa dendam, seperti yang diajarkan Gus Dur pada kami di barisan front Nasionalis.

 Penulis adalah Aktivis LSM Pelopor 

Komentar0

Type above and press Enter to search.