SATYABERITA – Tugu Monumen Nasional atau yang lebih dikenal sebagai Monas tak hanya menjadi ikon kota Jakarta, tapi juga simbol perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Berdiri megah setinggi 132 meter di jantung ibu kota, Monas menyimpan sejarah panjang dan filosofi mendalam tentang identitas bangsa.
Gagasan pembangunan Monas pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno, yang terinspirasi dari monumen-monumen besar dunia seperti Menara Eiffel di Prancis dan Tugu Washington di Amerika Serikat.
Ia ingin menghadirkan sebuah monumen megah yang dapat menjadi lambang kebanggaan nasional serta mengenang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tantangan belum usai. Agresi militer Belanda dan kondisi politik yang belum stabil membuat pembangunan monumen kebangsaan ini tertunda.
Pada dekade 1950-an, ketika ibu kota telah kembali ke Jakarta dari Yogyakarta, Presiden Soekarno mulai merancang pembangunan Monas secara serius. Pemerintah membentuk panitia khusus pada tahun 1955 dan menggelar sayembara desain tingkat nasional.
Dari berbagai rancangan yang masuk, konsep karya arsitek kenamaan Frederich Silaban terpilih karena keberhasilannya memadukan elemen budaya Indonesia dengan sentuhan modern.
Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan ke-16 kemerdekaan Republik Indonesia. Prosesnya tidak mudah—tantangan teknis hingga keterbatasan dana menjadi hambatan utama. Meski demikian, proyek ini tetap berjalan dengan melibatkan tenaga kerja lokal dan para insinyur terbaik negeri.
Simbol Filosofis dan Identitas Nasional
Monas dibangun menggunakan struktur beton bertulang dan dihiasi lidah api berlapis emas di puncaknya seberat 50 kilogram. Api tersebut melambangkan semangat perjuangan yang tak pernah padam.
Filosofi lingga dan yoni pada bentuk bangunan mencerminkan keseimbangan antara kekuatan maskulin dan feminin, serta menggambarkan kesuburan dan kemakmuran bangsa.
Bagian dasarnya berbentuk persegi, melambangkan kestabilan, sementara bagian atasnya yang meruncing menunjukkan cita-cita tinggi bangsa Indonesia.
Di dalam monumen, terdapat Museum Sejarah Nasional yang menyuguhkan berbagai diorama perjalanan bangsa dari era kerajaan hingga masa kemerdekaan. Pengunjung juga dapat naik ke puncak Monas dengan lift dan menikmati panorama ibu kota dari ketinggian.
Monas diresmikan secara resmi oleh Presiden Soeharto pada 12 Juli 1975, setelah hampir 14 tahun pembangunan. Sejak saat itu, monumen ini menjadi pusat peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus dan berbagai acara kenegaraan serta kegiatan publik lainnya.
Warisan yang Terus Dijaga
Selama bertahun-tahun, Monas telah mengalami berbagai renovasi untuk mempertahankan keindahan dan fungsinya. Salah satu momen penting terjadi pada 1995, saat bagian emas di puncak Monas ditambah menjadi 50 kilogram untuk menandai setengah abad kemerdekaan Indonesia.
Kini, Monas tak hanya menjadi destinasi wisata favorit, tetapi juga ruang ekspresi publik, mulai dari pertunjukan seni hingga unjuk rasa masyarakat. Lokasinya yang strategis menjadikan Monas sebagai pusat aktivitas nasional dan simbol solidaritas warga.
Lebih dari sekadar bangunan, Monas adalah pengingat akan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa. Ia berdiri kokoh sebagai sumber inspirasi bagi generasi muda untuk terus menghargai sejarah dan menjaga semangat kebangsaan.
(Dikutip dari berbagai sumber)
Komentar0