SATYABERITA — Kasus dugaan pemalsuan ijazah sarjana kehutanan yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi perbincangan hangat. Isu ini telah berlarut-larut sejak 2022 dan seakan tidak menemukan titik terang.
Mengingat dampaknya yang mengganggu kewarasan publik dalam menentukan kebenaran, Pengamat Politik, Sugiyanto menyampaikan keprihatinannya terhadap penyelesaian kasus ini dalam sebuah artikel.
Sugiyanto mengungkapkan bahwa kasus dugaan pemalsuan ijazah Jokowi seharusnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana dan transparan.
"Yang dibutuhkan hanyalah sikap legowo dari Jokowi untuk menunjukkan ijazah asli dan bersedia untuk diverifikasi," ujar Sugiyanto.
Namun, karena ketegangan yang terus berkembang, isu ini justru semakin rumit dan merusak reputasi mantan Presiden serta memecah belah publik.
Sugiyanto menjelaskan, kasus ini bermula sejak tuduhan muncul terhadap keaslian ijazah sarjana kehutanan Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Meski UGM telah memberikan klarifikasi dan menegaskan bahwa ijazah tersebut asli, dugaan pemalsuan tetap saja beredar, bahkan dibawa ke ranah hukum.
Beberapa pihak, termasuk penulis buku Jokowi Under Cover Bambang Tri Mulyono dan penceramah Gus Nur, dijerat hukum atas dugaan penyebaran ujaran kebencian dan penistaan agama.
Meskipun pihak UGM telah memberikan bukti otentik tentang keaslian ijazah Jokowi, termasuk foto-foto semasa kuliah yang menunjukkan Jokowi bersama teman-teman seangkatan, dugaan pemalsuan ini terus bergulir.
Bahkan, dalam tayangan video YouTube pada Maret 2025, seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, mengungkapkan analisis terkait font dan sistem operasi yang ia klaim menjadi indikasi bahwa ijazah tersebut palsu.
Menanggapi tuduhan tersebut, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, dengan tegas membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa Jokowi memang pernah kuliah di UGM dan menyelesaikan skripsinya.
Jokowi sendiri menyebut tuduhan ini sebagai fitnah yang terus diulang tanpa dasar yang kuat. Ia menegaskan bahwa pihak yang menuduh harus dapat membuktikan kebenaran klaim mereka, bukan sebaliknya.
Lebih jauh lagi, Sugiyanto menyoroti sikap Menteri Sekretaris Negara, Prof. Pratikno, yang dianggap memiliki informasi penting terkait masalah ini.
Meskipun ia merupakan mantan Rektor UGM, Pratikno tidak banyak memberikan penjelasan terkait isu ini. Hal tersebut menambah keraguan publik terhadap narasi resmi yang disampaikan oleh pemerintah dan UGM.
Seiring berkembangnya kasus ini, muncul pula opini dari pihak yang diduga sebagai putri dosen senior UGM, Prof. Sumitro, yang menyatakan bahwa ayahnya tidak mengenal atau membimbing Jokowi dalam penulisan skripsi. Pernyataan tersebut semakin memperburuk persepsi publik tentang keaslian ijazah Jokowi.
Sugiyanto menilai bahwa untuk meredakan ketegangan ini, diperlukan campur tangan pemimpin yang dihormati dan dipercaya publik.
"Mungkin hanya sosok seperti Presiden Prabowo Subianto atau Sekjen PBB António Guterres yang dapat menyelesaikan kasus ini," ujarnya.
Menurutnya, penyelesaian kasus ini akan memberikan kejelasan dan meredakan ketegangan di masyarakat yang terbelah antara yang mendukung dan yang meragukan keaslian ijazah Jokowi.
Lebih lanjut, Sugiyanto menegaskan bahwa jika kasus ini tidak segera diselesaikan, Indonesia bisa tercatat sebagai negara dengan reputasi buruk di dunia internasional.
"Kasus ini bisa menjadi mimpi buruk bagi bangsa ini dan tercatat dalam Guinness World Records sebagai negara yang gagal menyelesaikan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan," kata Sugiyanto.
Akhirnya, sebagai kesimpulan, Sugiyanto mengingatkan bahwa penting untuk segera menyelesaikan dugaan pemalsuan ijazah ini demi menjaga nama baik mantan Presiden Jokowi, reputasi bangsa Indonesia, serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
"Semua pihak, baik dari dalam negeri maupun internasional, perlu mendorong agar kasus ini dapat diselesaikan dengan tuntas dan sesuai dengan peraturan yang berlaku," tutupnya.
Komentar0