SATYABERITA - Sejumlah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) lintas fakultas meminta pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap proses pemilihan rektor UPI periode 2025-2030.
Permintaan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Sekretaris Kabinet, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikti Saintek. Mereka mencium adanya konspirasi untuk memenangkan kandidat tertentu.
Pada saat yang sama, para dosen yang mengirimkan surat atas nama civitas akademik UPI ini mengapresiasi pernyataan Ketua MWA UPI untuk melaksanakan pemilihan rektor secara demokratis, jujur, dan transparan.
Pernyataan Ketua MWA tersebut disampaikan pada saat pidato sosialisasi Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pemilihan Rektor UPI beberapa waktu lalu.
“Kami sangat mendukung prinsip demokrasi, kejujuran, dan transparasi dengan tagline ‘Values for value, full commitment, no conspiracy’ sebagaimana disampaikan Ketua MWA. Kami sangat mendukung prinsip tersebut untuk diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Namun demikian, dalam praktiknya kami memantau bahwa pelanggaran prinsip tersebut bahkan sudah dimulai sejak pemilihan calon anggota Senat Akademik (SA) di tingkat fakultas,” bunyi pembuka surat.
Mereka mencatat, sejak pemilihan calon anggota SA di tingkat fakultas, bakal calon rektor yang digadang-gadang menjadi kandidat kuat dengan cara sistematik dan massif telah memobilisasi dekan dan ketua program studi untuk memilih calon anggota SA yang dapat diatur dan diarahkan.
Upaya ini dilakukan dengan dasar hubungan patronase antara wakil rektor yang menjadi bakal calon dengan sekelompok dekan.
Mobilisasi dukungan berlanjut pada tahap pemilihan anggota MWA dari unsur SA. Bersama sejumlah dekan, bakal calon kandidat terlebih dahulu menetapkan nama-nama yang akan dipilih dari fakultas yang dianggap pasti mendukung yang bersangkutan.
Para dosen menilai penetapan nama-nama anggota MWA dilakukan melalui suatu proses konspirasi antara bakal calon kandidat rektor dengan sejumlah dekan sebelum proses pemilihan anggota MWA dilakukan di SA.
“Konspirasi dan mobilisasi tersebut sejalan dengan metode pemungutan suara di SA. Dalam pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA, pemungutan suara dilakukan melalui metode satu orang anggota SA memilih sembilan orang calon anggota MWA dalam satu paket. Hal tersebut telah menciptakan blok monopoli anggota MWA internal UPI yang terpilih berdasarkan patronase,” tegas surat tersebut.
Padahal, sebelumnya sempat muncul usulan agar pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA dilakukan melalui metode satu orang memilih satu calon (one man one vote).
Metode ini diawali dengan mengubah peraturan pemilihan calon anggota MWA. Sayangnya, usulan tersebut tidak pernah diindahkan. Pemilihan calon anggota MWA tetap memakai sistem pemungutan suara one person nine vote.
Para dosen menilai pemungutan suara melalui metode satu orang memilih sembilan calon anggota MWA sekaligus telah menciptakan blok monopoli anggota MWA internal UPI.
Ini ditunjukkan dengan hasil janggal dalam anggota MWA dari unsur SA, di mana ada satu fakultas memiliki dua wakil anggota MWA, sedangkan dua fakultas tidak memiliki perwakilan anggota MWA.
“Akibatnya, keanggotaan MWA internal UPI tidak representatif mewakili SA dan fakultas. Bahkan, pada tahap pemilihan calon anggota MWA ini sebagian anggota SA menyatakan walk out. Langkah itu merupakan bagian dari pernyataan sikap atas proses pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA sudah tidak demokratis dan membangun monopoli kelompok. Ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nilai etika di perguruan tinggi yang membangun nilai-nilai objektivitas, transparansi, dan solidaritas akademik,” bunyi surat tersebut.
Mobilisasi dukungan kembali terjadi pada tahap penjaringan calon anggota MWA dari unsur masyarakat. Bakal calon kadidat rektor turut menjadi anggota tim penjaringan bakal calon anggota MWA.
Di sini terjadi konflik kepentingan karena bakal calon kandidat turut menjaring calon anggota MWA yang kelak akan bertugas memilih rektor.
Selain itu, muncul potensi upaya penjaringan calon anggota MWA dari unsur masyarakat dalam mengarahkan dukungan kepada yang bersangkutan.
Di bagian lain, para dosen melihat Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pemilihan Rektor UPI menyisakan isu krusial yang mengindikasikan kembali adanya kecenderungan konspirasi pemenangan kandidat tertentu.
Pertama, pemilihan para bakal calon rektor menjadi tiga bakal calon rektor dilakukan melalui pemungutan suara berdasar one person three vote atau satu orang anggota MWA memilih tiga bakal calon rektor.
Mereka menilai metode ini dirancang untuk memenangkan persekongkolan tiga calon (satu calon utama dan dua calon pendamping) yang sudah dibangun sejak pemilihan calon anggota MWA dari unsur SA.
Metode ini telah menciptakan politik kartel melalui permufakatan semu dan transaksi jabatan di antara ketiga calon dan kelompok turunannya.
Kedua, suara Menteri (yang membidangi pendidikan tinggi) sebesar 35 persen secara eksplisit dinyatakan pada tahap pemilihan tiga calon rektor menjadi satu rektor terpilih.
Pada tahap pemilihan dari banyak calon menjadi tiga calon rektor tidak dinyatakan secara eksplisit.
“Apakah Menteri akan menggunakan suara sebesar 35 persen atau satu suara? Jika Menteri pada tahap pertama pemilihan bakal calon rektor dari banyak calon menjadi tiga bakal calon rektor hanya diberikan hak satu suara, maka hal ini bisa ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk adanya kecenderungan konspirasi meloloskan kartel tiga calon rektor. Pada saat yang sama mengenyampingkan calon rektor di luar kelompok mereka. Secara kuantitatif, sembilan orang anggota MWA dari unsur internal SA akan mendukung calon rektor dari hasil pemufakatan sebelumnya,” lanjut surat tersebut.
Ketiga, peraturan MWA yang sama juga memuat pasal tentang adanya tim pendukung panitia. Tim tersebut selayaknya diisi oleh orang-orang independen.
Faktanya, ketua dan wakil ketua tim diisi oleh dosen yang tidak independen dan berpihak kepada bakal calon kandidat tertentu.
Mereka mengecam praktik-praktik politik tidak fair yang dilakukan sekelompok pihak dalam prosedur pemilihan rektor bertentangan dengan etika perguruan tinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran akademik atas dasar objektivitas dan rasionalitas.
Selain itu, praktik-praktik politik praktis konspiratif dari kelompok pendukung bakal calon kandidat tertentu akan menciptakan suasana kampus yang tidak kondusif dalam membangun soliditas civitas akademika karena akan membelah kelompok-kelompok politik.
“Suasana seperti ini akan menjadi pertentangan dengan misi pemerintah dalam hal ini Presiden RI yang menginginkan agar kampus menjaga jati dirinya sebagai lembaga akademik yang akan melahirkan sumber daya manusia unggul. Caranya adalah dengan menciptakan harmoni kehidupan, bukan menjadi ajang politik praktis para elite kampus,” tandas surat tersebut.
Di bagian akhir, para dosen meminta perhatian pemerintah agar meninjau ulang prosedur peraturan pemilihan rektor UPI.
Hal ini penting untuk menciptakan proses pemilihan berjalan secara demokratis, transparan, dan akuntabel dengan mengedepankan nilai-nilai etika.
Mereka secara khusus meminta perhatian Sekretaris Kabinet yang berhubungan langsung dengan Presiden, Mendikti Saintek, dan Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai pihak yang berhubungan dengan perguruan tinggi.
Komentar0