TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Momentum IWD: Refleksi Feminisme Dalam Kuasa Maskulinitas

           Foto: Mario Mere

Oleh: Mario Mere
Aktivis INDEMO ( Indonesian Democracy Monitor )

SATYABERITA - Pentingnya merefleksikan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2025 dengan mengupas pertanyaan mendasar. Pertanyaan reflektif diawal tulisan ini: “ Apakah perempuan di Indonesia telah merdeka? ”. Hingga saat ini masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia belum teratasi dengan baik. Menurut data Komnas Perempuan dan data pelaporan menunjukkan kekerasan yang dialami perempuan yakni kekerasan seksual dengan total 36,43 persen. 

Kemudian diikuti kekerasan psikis sebanyak 26,94 persen, kekerasan fisik sebanyak 26,78 persen dan kekerasan ekonomi sebanyak 9,85 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat kita artikan bahwa perempuan masih berada di bawah ketiak kolonialisme. Ketika kita berbicara mengenai kekerasan yang dialami oleh perempuan, maka untuk mengatasinya yaitu diperlukan suatu gerakan yang tidak asing kita dengar di Indonesia yakni, gerakan feminisme. 

Sebelum kita tertuju pada gerakan feminisme, maka konsep dasar yang perlu kita pahami dalam membahas persoalan kaum perempuan adalah membedakan konsep seks dan konsep gender. Karena untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial terhadap perempuan, perlu dipahami pemahaman antara konsep seks dan gender.

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks(jenis kelamin). Dr. Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” menerangkan bahwa, pengertian sex (jenis kelamin) merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memililiki penis, memiliki jakala(kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat produksi seperti Rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. 

Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara social maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap : kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. 

Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Sayangnya, kita dapat memperhatikan bahwa yang menjadi problematika gerakan perempuan hari ini ialah miskonsepsi gender yang dianggap sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan. 

Hal ini terjadi karena diperkuat melalui konstruksi sosial. Hal yang keliru jika dibius dengan baik dan diperkuat melalui konstruksi sosial, maka akan menjadi suatu kebenaran.

Konsep gender dan seks sangat mempengaruhi Gerakan feminisme. Kita ketahui bahwa, feminisme sebagai gerakan yang hadir karena kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Istilah feminisme sebenarnya berasal dari bahasa Prancis dari kata feminism atau feminitas. 

Femininine merupakan sebuah kata adjektif atau kata sifat yang artinya adalah kewanitaan atau menunjukan sifat perempuan. Artinya, bahwa feminisme adalah sebuah aliran pergerakan perempuan yang memperjuangkan hak-haknya. 

Meskipun feminisme memiliki banyak aliran hingga terjadi perbedaan antar feminis mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. 

Berdasarkan realita sosial yang terjadi Indonesia dapat kita amati, bahwa perjuangan perempuan masih terjebak dalam persoalan paradigmatic. Desakan mahasiswa dan masyarakat hingga disahkannya Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh DPR pada 13 April 2022 lalu dan diberlakukan pada 09 Mei 2022, merupakan langkah yang baik untuk meminimalisir kekerasan seksual, namun hal tersebut belum tentu menjamin untuk mengurangi tindakan kekerasan seksual. 

Kenapa demikian? Karena dengan lahirnya UU, tapi tidak diimbangi dengan penyadaran dalam proses social, maka dapat dimaknai belum tentu menyelesaikan persoalan mendasar. 

Kembali lagi pada pernyataan awal penulis, bahwa perjuangan perempuan masih terjebak dalam persoalan paradigmatik. Hal ini ditegaskan melalui judul yang dibuat oleh penulis “Gerakan Feminisme Dalam Kuasa Maskulinitas”

Kita ketahui, bahwa gerakan feminisme di Indonesia masih memiliki banyak problem, setelah sekian lama gerakan ini berkembang, sudah waktunya kita merefleksikan kemana arah gerakan feminisme dalam jangka panjang. 

Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak sekadar memperjuangkan persoalan perempuan, melainkan perjuangan mengenai sistem dan struktur yang tidak adil, menuju keadilan bagi perempuan dan laki-laki. 

Bagi penulis, miskonsepsi dari gerakan feminisme karena terjebak dalam ideologi maskulinitas. Meminjam kerangka Harding(1968) dan Siva (1989) tentang dialektika dua prinsip ideology antara feminitas dan maskulinitas. Keduanya adalah dua ideology yang berbeda dan kontradiktif. 

Feminitas adalah ideology yang berciri kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Sementara maskulinitas memiliki karakter persaingan, dominasi, exploitasi, dan penindasan. Hari ini, sangat banyak kaum perempuan dan bahkan aktivis feminis yang menganut ideologi maskulinitas. 

Contohnya, dalam rangka memperingati Hari perempuan maupun Hari Kartini, kaum perempuan tidak melibatkan laki-laki untuk bergerak bersama dan bersuara dalam gerakan. Perempuan seakan-akan membuat sekat-sekat dalam gerakan feminisme. Artinya, perempuan sendiri yang turut melestarikan eksploitasi dan penindasan yang mereka perjuangkan. 

Karena paradigma maskulinitas berhasil merasuki pelbagai aspek kehidupan, seperti developmentalism, militerisme, ilmu-ilmu positivism dan reduksionisme serta pelbagai ideology kekerasan lainnya.  

Aktivis perempuan yang terjebak dalam ideology maskulinitas ibarat menyiram garam di laut. Bias Feminisme pun terjadi hingga beberapa kesalahpahaman mengenai Feminisme tumbuh subur.
Feminisme membenci laki-laki
Membenci laki-laki adalah salah satu kekeliruan paling kuno dan paling melelahkan mengenai feminisme. 

Feminisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik. Feminisme tidak pernah merupakan ideologi kebencian. Untuk mencapai kesetaraan, feminisme harus melemahkan laki-laki Mencapai kesetaraan gender memang harus melalui dekonstruksi maskulinitas, namun hal ini tidak sama dengan mengebiri laki-laki. 

Dalam ratusan tahun sejarahnya (bahkan sebelum istilah “feminisme” dilontarkan), gerakan ini telah memupuk tradisi perenungan yang dalam dan pemikiran kembali konstruksi sosial atas gender maupun dinamika gender. Feminisme seharusnya memperbaiki relasi gender, bukan memperkuat salah satu jenis kelamin dengan mengorbankan yang lain. 

Feminisme hanya membantu perempuan, Feminisme tidak hanya membebaskan perempuan, gerakan ini juga membebaskan laki-laki dengan memutus standar-standar yang diberikan masyarakat pada perempuan dan laki-laki. 

Feminisme adalah tentang mengubah peran-peran gender, norma seksual dan praktik-praktik seksis yang membatasi diri. Laki-laki memiliki kebebasan untuk menjelajah hidup di luar batas-batas kaku maskulinitas tradisional. Feminisme juga mempercayai akses yang sama untuk pendidikan, yang barangkali memungkinkan ibu-ibu mendapatkan gelar universitas dan mendapatkan pekerjaan, sehingga memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hidup. 

Dengan pendidikan, perempuan cenderung memiliki pilihan-pilihan hidup yang lebih baik, menghasilkan keluarga dan masyarakat yang lebih sehat dan berfungsi secara optimal. Hanya perempuan yang bisa jadi feminis.

Feminis berkomitmen untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dan kekerasan seksual, ketidaksetaraan penghasilan, obyektifikasi seksual, dan lain-lain. 

Cara terbaik untuk menanggulangi masalah-masalah ini adalah untuk melibatkan laki-laki, meningkatkan kesadaran para pegawai pria mengenai kepekaan gender, mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati anak perempuan, membuat para ayah mau berbagi beban pekerjaan rumah tangga dan lebih terlibat dalam membesarkan anak-anak, dan masih banyak lagi.
Feminisme tidak diperlukan lagi karena perempuan sudah setara dengan laki-laki

Hal ini sangat keliru. Mari ingat-ingat lagi tuntutan gerakan pembebasan perempuan pada 1970an: Empat tuntutan pertama adalah kesetaraan gaji, kesempatan sama atas pendidikan dan pekerjaan, jaminan hak-hak reproduksi, dan penghapusan kekerasan atau pemaksaan seksual tanpa memandang status pernikahannya. 

Sekarang lihat fakta-fakta hari ini: Menurut laporan dari Organisasi Buruh Sedunia PBB, perempuan di seluruh dunia hanya menerima 77 persen dari besarnya gaji yang dibayarkan untuk laki-laki, angka yang hanya meningkat 3 persen dalam 20 tahun terakhir. Ditambah lagi, banyak lapangan pekerjaan masih tidak ramah untuk ibu, dan posisi-posisi kepemimpinan teratas dalam perusahaan-perusahaan dan pemerintahan masih sangat didominasi oleh laki-laki.

Banyak negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah anak-anak perempuan yang putus sekolah masih lebih tinggi daripada anak laki-laki karena orangtua mereka melihat anak perempuan tidak menguntungkan dilihat dari investasi ekonomi. 

Ketiga, meski alat-alat kontrasepsi sekarang tersedia secara luas, banyak negara (termasuk Indonesia) yang masih memperbolehkan pernikahan di bawah umur, yang melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan. 

Keempat, budaya pemerkosaan tumbuh subur baik di negara maju maupun berkembang. Di negara-negara seperti Indonesia, hukum dan penegak hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual hampir tidak pernah berpihak pada perempuan. 

Selain itu, tradisi mengerikan seperti mutilasi genital perempuan masih dipraktikkan di Afrika dan bahkan di Indonesia. Dan, jangan lupa, meski perempuan akan boleh memilih untuk pertama kalinya dalam pemilu di Arab Saudi tahun 2015, mereka masih belum boleh menyetir atau meninggalkan rumah tanpa muhrim laki-laki. Jadi masih berpikir pekerjaan kita sudah selesai? Mari kita refleksikan lagi! (AR)

Komentar0

Type above and press Enter to search.